Aku seorang pria lajang berumur
22 tahun. Dulu ketika belum banyak hiburan, hobiku adalah nonton film di gedung
bioskop. Kalau dompetku lagi tebal aku nontot di gedung bioskop kelas satu.
Kalau uangku tinggal sedikit aku nonton dikelas misbar (grimis bubar). Aku
tidak memperdulikan tempat yang penting hobiku tersalurkan. Ketika itu aku
sedang antri membeli tiket masuk, aku memilih kelas vip. Ditengah-tengah
antrian ada seorang gadis yang menegurku.
“Mas...., tolong aku dibeliin tiket sekalian.” Aku
berpaling kebelakang, dia tepat sekali ada dibelakangku. Wajahnya manis, tinggi
tubuhnya sekitar 150 cm. Aku mengangguk tanda setuju. Selama mengantri gadis
itu masih berdiri dibelakang. Dari bagian belakang seperti ada benda lunak, dan
hangat yang menekan-nekan punggungku. Aku biarkan saja, aku masih ingin
menikmati sentuhan dua susu gadis itu. Kemudian aku membeli 2 tiket kelas vip
yang harganya waktu Rp. 6000. Setelah keluar dari antrean, aku ajak cewek itu
membeli minuman dan makanan kecil.
“Kenalin mbak....., namaku Diska. Namamu siapa ?
Aku mengulurkan tangan berjabat tangan.
“Namaku Anilawati.” Senyumnya yang manis
mengembang, telapak tangannya yang halus aku pegang erat.
“Yuk....masuk, nih kamu sudah aku beliin tiket.”
Aku mengajaknya masuk dalam gedung. Kami mencari tempat duduk kelas vip bagian
atas paling pojok.
“Nil....., kamu kok sendirian, tidak sama pacar.”
Aku mengajaknya bicara. “Tuh jajanannya dimakan dulu”
“Enggak.....sudah putus.” Sekilas wajahnya yang
manis tersipu-sipu. “Lagian dia nggak pernah ngajak aku nonton film.”
“Kalau gitu sama dong.” Aku berpaling kekiri dan
wajah kami bertemu. Hembusan nafasnya terasa harus dan hangat.
“Ah....mas pasti bohong.” Aku melihat ada keraguan
diwajahnya.
“Mau percaya ya sukur, yang jelas karena pacarku
dipaksa nikah oleh orangtuanya.”
“Ya....sudahlah, nggak perlu sedih begitu.”
Jawabnya menghibur. Hati yang sedang gundah mulai terhibur. Pembicaraan kami
terputus ketika tiba-tiba pet...pet....pet lampu ruangan gedung dimatikan.
Semua mata beralih kearah tembok bagian depan sebagai layar pertunjukkan.
Filmpun mulai diputar, semua penonton aku lihat mulai menghayati setiap adegan
dalam film itu. Namun perhatianku tidak tertuju pada layar pertunjukkan. Sambil
berbisik kami terus obrolan, kami mulai akrab. Aku mencoba menggemgam telapak
tangannya yang mungil. Nila sama sekali tidak menghindar, ketika telapak
tangannya mulai aku remas. Kami sama-sama diam, sambil sesekali melihat kearah
layar. Yang aku dengar hanya hembusan nafasnya. Genggaman aku lepaskan, tangan
kananku beralih merangkul pundak Nila. Nila sama sekali tidak protes ketika
pundaknya aku rangkul, tapi malah menyenderkan tubuhnya merapat dengan tubuhku.
“Nil.....kenapa kamu putus sama pacarmu.” Aku
berbisik dekat telinganya, takut mengganggu penonton yang lain. Rambutnya yang
panjang tergerai aku sibakkan.
“Ah......mas ngapain nanya itu lagi.”
“Pengin tau saja, mungkin masalahnya sama dengan
yang aku alami.”
“Ah......” Nila mengeluh perlahan ketika bibirku
menyentuh kuping telinganya. “Mas...., tolong jangan tanyain itu lagi, yang
jelas aku kecewa sekali.” Nila menjatuhkan kepalanya dalam dadaku, sambil
terisak-isak. Aku tidak tega, rambutnya aku usap-usap untuk menenangkan
hatinya.
“Nil....., maafin aku ya, aku tidak mau kamu sedih.
Jangan nangis, malu dong.” Kepalaku membungkuk berbisik dekat telinganya. Nila
hanya mengangguk dan dua tangannya melingkar memeluk tubuhku. Perhatian kami
tidak lagi tertuju pada setiap adegan yang tampil pada film itu lagi. Aku balas
pelukannya, aku cium pipinya yang halus lembut. Nila hanya diam saja, sementara
wajahnya semakin kuat tenggelam dalam dadaku. Nila mulai tenang, tangisannya
terhenti. Tangan kiriku mengusap-usap kepalanya, sedangkan yang kanan memeluk
pinggang Nila. Rasa nikmat itu kembali hadir, setelah 6 bulan aku ditinggal
pacarku. Aku lihat Nila tambah tenang, aku lihat mulai merasakan belaian dan
pelukakku. Dan Nila menjatuhkan kepalanya diatas pangkuanku, kini tangan
kananya menggenggam erat tanganku. Tangan kiriku yang tadinya membelai rambut
Nila, kini berpindah kepipinya yang halus, sisa-sisa air matanya aku hapus dari
sudut matanya. Kembali aku menundukkan wajahku, pipinya aku cium lembut,
kumisku menyapu setiap pori-pori kulit pipinya
yang harus baunya. Nilapun mulai menikmati kecupan bibirku dipipinya.
Sepertinya Nila sangat merindukan pelukan laki-laki. Sepertinya memberi
kesempatan sama aku. Nila menengadahkan wajahnya ketika ciumanku beralih
kekening, lalu turun mengecup kelopak matanya bergantian. Ujung hidungnya yang
mancung rucing aku kecup mesra. Kemudian seperti ada lenguhan tertahan dari
Nila ketika bibirnya aku kecup. “Aah.......” Nila mulai mendesah sambil memeluk
kepalanku kuat-kuat. Benar saja dugaanku, terbukti ketika bibirnya yang hangat
aku kecup disambutnya dengan lumatan. Rupanya Nila sudah pengalaman dalam hal
berciuman. Bibirnya mengulum bagian atas bibirku kuat-kuat. Kami semakin tambah
terbuai dalam ciuman yang panjang. Sementara tangan kananku tidak lagi memeluk
pinggangya, kini mulai meraba-raba bagian dada Nila yang membusung dari balik
bajunya. Nila yang sudah hanyut menikmati hangatnya kecupanku membiarkan saja
ketika sepasang susunya yang bulat besar itu aku remas-remas bergantian.
“Eeem....uuh......eeem.” Terdengar lenguhan halus
Nila tertahan oleh lumatan bibirku, ketika tangan kananku mulai menelusup
kebalik bajunya. Ada rasa halus dan lembut ketika permukaan kulit susunya aku
sentuh. Matanya terpejam seperti sedang menikmati setiap sentuhanku pada dua
bongkahan susunya bergantian. Nilapun tidak memprotes ketika talapak tanganku
menelusup kebalik BH mencari-cari isinya. Kini kerinduanku pada bongkahan susu
terobati, sepertinya bongkahan susu Nila tambah padat dalam genggamanku.
Sementara itu bibir kami masih saling melumat, dan lidah Nila mulai menjulur
masuk dalam rongga mulutku. Menjilat dan mengkait lidahku, mungkin sakit
nikmatnya Nila menyedot lidahku kuat-kuat sampai aku mengeluh panjang.
“Aaaaah.........eeeem.......sessss......” Aku
mengeluh panjang, sambil melepaskan hisapannya dari lidahku yang mulai terasa
pegel. Nila sepertinya tahu, hisapnya beralih kebibirku bergantian atas dan
bawah.
“Aaaaaah.......mas......” Nila melengh nikmat
sambil memanggilku ketika ujung pentilnya yang
tegak dan keras itu aku usap-usap.
Aku tambah gemas, susu dan pentil Nila yang halus
lembut itu terasa nikmat dalam genggamanku. Saking gemasnya pentil itu aku
pelitir bergantian. Sementara itu aku dan Nila yang sedanga terbuai oleh
panasnya asmara sama sekali tidak menghiraukan pertunjukkan film. Suasana
gedung yang gelap menghanyutkan aku dan Nila dalam kenikmatan asmara yang
sama-sama sudah lama terpendam.
Kini posisi kami berubah, Nila
tidak lagi tidur dalam pangkuanku. Ciumannya beralih keleherku yang
dikecup-kecup, mula-mula halus dan pelan, namun lama-lama menjadi kuat, mungkin
karena pengaruh dari pentil susunya yang aku pelintir-pelintir bergantian.
Tangan kanan Nila menggelayut erat pada leherku dan tangan kirinya menelusup
dalam bajuku. Pertama diusap-usap dadaku yang bidang, lalu tangan Nila beralih
meraba dan mengusap ujung pentilku.
“Uuuuuh.......Nila......” Aku melenguh nikmat
ketika ujung pentilku diremas.
Kini kancing baju bagian dada Nila aku lepas, lalu
BHnya aku angkat keatas dan sepasang susu itu menyembul keluar. Dari keremangan
aku dapat melihat indahnya susu Nila. Lalu aku remas gemah susu itu bergantian.
Rasanya susu itu tambah mengkal saja, apalagi pentilnya yang sudah tegang
berdiri dengan tegak menghiasi bongkahan susu. Aku makin penasaran demi melihat
sepasang susu Nila, kulit susunya putih bersih seperti berkilauan. Segera aku
rebahkan kembali Nila dalam pangkuanku, kepalanya menekan kuat kontolku yang
sejak tadi sudah ngaceng tegang sekali. Aku yang tidak tahan melihat bongkahan
susunya, segera menjatuhkan kepalaku dalam belahan susunya. Aroma susunya yang
wangi terasa nikmat ketika aku cium bergantian. Rasanya aku kembali menjadi
anak kecil yang suka netek pada ibunya. Kadang kumisku menggesek kulit susunya.
Bibirku mulai bekerja mengecup-ngecup bongkahan susu Nila. Yang membuatku
menjadi tidak tahan adalah ujung pentil Nila yang masih berdiri tegak, segera
saja aku caplok pentil yang kari sedangkan yang kanan kini aku usap-usap pakai
tangan.
“Uhk.......sesss.......sesttt.......” Nila melenguh
agak keras, seperti kaget menerima hisapan mulut pada ujung pentil sebelah
kiri. Tangannya menekan kuat kepalaku yang tenggelam pada permukaan susunya.
“Ssss......seessstttt........trus.......mas.....”
Aku semakin kuat menghisap dan melintir pentil Nila. Ujung pentil itu rasanya
nikmat banget didalam mulutku, lidahku tidak tinggal diam, ujung pentil Nila
aku jilat-jilat. Sementara Nila hanya memejamkan mata sambil menggelengkan
kepala menikmati hisapan mulutku pada pentilnya bergantian. Kadang susu kiri,
kemudian aku pengin menghisap yang sebelah kanan. Gesekan kepala nila yang
kuat, seperti menekan batang kontolku. Ada rasa nikmat pada batang kontolku
ketika tertindih kepalannya Nila.
“Uhk.......ahk.......Nil.........” Aku mengeluh
tertahan oleh besarnya susu Nila yang menyumbat mulutku dengan kuatnya. Dan
Nilapun seperti menghayati setiap hisapan bibirku pada pentilnya, dua tangannya
terus merengkuh kuat kepalaku, kadang ditekan kuat-kuat pada bongkahan susunya
sendiri.
“Auhk.......aaaah......aduh.......enak....mas...”
Nila mengeluh halus menikmatinya.
Tanganku seperti bergerak sendiri yang kiri
menggenggam susu bergantian, sementara yang kiri bergerak turun kearah paha
Nila yang hanya menggunakan rok mini. Pahanya yang halus aku usap-usap,
kulitnya yang masih kencang terasa halus dan hangat. Dua pahanya yang ramping
jadi sasaran telapak tanganku yang terus meraba-raba bergantian. Dan seperti
ada yang mengganjal lenganku, rupanya gundukan dibawah perut Nila yang masih
tertutup rok mini tertekan oleh lenganku.
“Aaah......uuuhk......sessstttt.....mas........trus.”
Nila hanya melengus halus ketika bagian bawahnya aku raba-raba bersamaan bagian
susunya yang masih aku hisap terus tanpa henti. Tangan kanan Nila tidak mau
kalah, pentilku masih dipelitir dua ujung jarinya yang runcing.
“Nil..........ukkkh.......sssettt......sess....Nila”
Akupun melenguh lagi ketika dari ujung pentilku sendiri muncul rasa nikmat yang
berkepanjangan. Demi mendengar desahanku, tangan Nila semakin giat merasa dan
melintir dua pentilku bergantian.
Dan ketika tangan kiriku mulai merambat naik keujung
pangkal pahanya, tangan kanan Nila dengan cepat menahannya kuat-kuat.
“Maassss........yang itu jangan.........” Tanganku
ditepisnya kuat-kuat. “Mas.......jangan dulu mas.......nikmati dulu susuku
saja.” Nila seperti menghiba, aku mengalah, aku ingin masih menikmati hangatnya
susu Nila.
Namun tanpa aku dan Nila sadari ternyata
pertunjukkan film sudah berakhir. Tiba-tiba byar, seluruh ruangan gedung terang
benderang. Aku dan Nila kaget, akhirnya kami menyudahi percumbuan itu. Aku dan
Nila sama-sama tersenyum sambil membetulkan kancing baju bagian atas. Kamipun
keluar meninggalkan gedung film. Tangan kiri Nila berpengangan erat pada lengan
tangan kananku. Bongkahan susu yang tadi baru saja aku nikmati terasa lembut
dan kenyal menyentuh lenganku.
“Nil.......perutku lapar banget, kita makan dulu
ya......”
“Ya mas.....aku juga lapar.”Nila tersenyum manis,
ada rasa bahagia dari raut wajahnya yang berseri-seri.
Aku ajak Nila menuju tempat parkir, dari kejauhan
nampak mobil hijau cerah dengan setia menanti majikannya. Kemudian aku
mengambil kunci kontal dari saku celana dan sedikit aku tekan locknya pintu
mobil sudah terbuka. Dari sebelah kanan aku masuk, terus aku buka pinti sebelah
kiri.
“Masuk Nil.....ayo masuk.” Nila masih berdiri dari
belakang mobil. Aku keluar mendekati Nila yang masih berdiri.
“Ayo......masuk.....kok bengong begitu. Ayo
naik......kita cari makan dulu” Nila sepertinya kaget ketika aku tegur. Aku
tuntun Nila supaya naik mobilku. Aku melangkah kearah kanan, setelah duduk
didepan stir, mesin segera aku nyalakan.
Sepanjang perjalanan menuju restoran Nila hanya
diam mematung. Aku menjadi tidak enak.
“Nil......kenapa kamu diam seperti itu. Apa kamu
kecewa sama aku. Kalau gitu maafin aku deh..” Aku menengok kearahnya sambil
menyetir.
“Mas.....jangan bilang gitu, aku tidak marah, aku
kaget saja.” Nila menyabut obrolanku sambil melempar senyum manisnya. Aku
merasa lega, ketika Nila memperlihatkan wajahnya yang berseri-seri.
“Kaget apa seneng dengan kajian didalam tadi.” Nila
hanya menunduk, pipinya merah merona tersipu malu. Lalu dijubitnya paha kiriku,
sampai aku terlonjak kaget untung tangan kananku masih bisa mengandalikan laju
kendaraan.
“Kamu ini, bukan itu maksudku tau.” Nampak Nila
sedikit merengut “Aku tadi kaget karena penampilanmu yang sederhana tidak
seperti dugaanku.”
“Itu kan hanya penampilan luarnya, kamu kan belum
tahu semuanya Nil.....”
“Ooo.....jadi Nila boleh tahu semua yang ada pada
diri mas Diska”
“Itu sih terserah sama kamu saja, kan kita sekarang
baru kenal” Jawabku sambil tetap memperhatikan jalan raya, kemudian aku banting
setir kearah kanan belok masuk halaman parkir retoran langgananku.
“Nila.....ayo turun, kita makan dulu.” Kami
melangkah masuk dalam restoran. Setelah mengambil daftar menu makanan, Nila aku
ajak duduk dibagian pojok restoran yang dekat dengan taman.
“Nil.......kamu tadi bilang pengin tahu aku
semuanya, apa tidak keliru nih.” Nila yang duduk disebelahku tangannya aku
genggam mesra.
“Emang kita baru kenal, tapi kan sudah seperti
sudah lama kenal. Buktinya tuh lihat sendiri saja dilehermu mas.” Anila tertawa
renyah sambil menunjuk-nunjuk bagian leherku. Aku tahu maksud Nila.
“Skor kita satu-satu, tuh lihat sendiri apa yang
tertinggal tadi didalam bajumu Nil...” Jawabku santai sambil menatap belahan
baju Nila yang sedikit terbuka. Dari celah itu aku lihat ada goresan merah
menghiap permukaan kulit susunya yang membusung indah. Nila hanya tersenyum
saja sambil mencubit pahaku keras, hampir saja aku berteriak.
“Mas Diska nggak keberatan kan, kalau aku kenal
lebih jauh lagi.”
“Kamu pengin kenal aku yang seperti apa sih”
“Ya semuanya mas......, aku pengin tahu kalau mas
lagi ngambek misalnya. Aku pengin tahu kalau mas Diska berangkat kerja, pengin
tahu lagi apa mas Diska masih punya pacar atau bener-bener sudah bubaran.” Nila
menatapku dalam-dalam sepertinya ingin tahu semuanya.
“Nil......aku pernah dikecewain, kamu juga pernah
merasakan dikecewain.” Aku menghela nafas panjang. “Kita butuh waktu untuk
saling mengenal lebih jauh lagi.”
Sementara obrolan kami berhenti, dua pelayan
resotan datang manghampiri kami sambil menghidang makanan.
“Silahkan dinikmati hidanganya pak....bu.....”
Dengan sopan pelayan itu menyapa kami berdua.
“Yuuk.......dimakan Nil, mumpung masih hangat,
perutku sudah lapar banget.” Nila mengangguk sambil berdiri. “Kamu mau kemana
Nil.” Tangan kirinya aku pegang.
“Ya mau makan dong mas.” Nila cekatan sekali
menyuguhkan makanan sama aku, aku menjadi terpana. Selama ini aku belum pernah
mendapat perlakuan lebih dari seorang perempuan. Kami melanjutkan makan sampai
selesai.
“Nil.....kamu masih mau menemani aku tidak.”
Tegurku sama Nila yang sedang meneguk air jeruk hangat.
“Nemani kemana mas....., aku pengin pulang....,
tolong diantar ya.” Aku agak kecewa demi mendengar jawabannya.
“Tadi kamu bilang pengin tahu kerjaanku. Kalau kamu
tidak mau ya tidak apa-apa, aku tidak memaksa.”
“Maafin Nila......, aku mau nemanin kok. Jangan
merengut gitu ahk.” Anila berusaha meyakinkan aku.
Setelah aku membayar semua makanan, kembali aku
gandeng tangan Nila menuju mobil. Segera aku meluncur kejalan raya menuju
rumahku. Nila aku ajak kerumah melihat-lihat semuanya. Karena waktu sudah
menjelang sore hari akhirnya aku antar Nila pulang. Sepanjang perjalanan kami
hanya diam, Nila yang aku ajak bicara hanya diam saja, rupanya diam sedang
tertidur pulas.
cerita yang bagus, kunjungan balasan ke blog saya www.goocap.com
BalasHapus