Minggu, 29 September 2013

Pengalamanku yang menyenangkan



Namaku Nita, kini umurku sudah 25 tahun, sekarang sudah bekerja sebagai seorang manager pada perusahaan ekspor dan impor. Seharusnya aku sudah berumah tangga, tapi untuk saat ini aku belum menemukan pria yang sesuai dengan sesui dengan selera seksku yang menggebu-gebu. Aku merasa sudah bosan selalu berganti laki-laki. Aku sudah bosan menjadi budak nasfuku sendiri yang sulit dikendalikan. Aku ingin mengakhiri semua petualangan seksku. Ya... memang aku suka berganti laki-laki, tapi aku pilih laki-laki yang menurutku sehat dan perkasa. Aku tidak pernah mengharapkan sesenpun uang dari laki-laki yang pernah aku singgahi, aku hanya butuh penyaluran hasratku.
Aku menjadi maniak seks, gara-gara aku mulai hubungan seks sejak masih usia dini. Orang yang pertama kali mengambil perawanku adalah teman ayahku sendiri. Orang itu namanya Jiprit, kedengarannya memang kampungan, tapi penampilan wajah dan postur tubuhnya yang gagah membuat setiap wanita jatuh cinta. Postur tubuhnya tinggi besar ya sekitar 170 cm, wajahnya ganteng dihiasi kumis tipis melintang dibibirnya. Hidungnya mancung, tapi tatapan matanya sangat menawan, dan terlebih lagi kelihatan berwibawa. Aaaaah.......ketika aku ingat sama om Juprit birahi sekku bangkit. Sampai saat ini entah dimana kabarnya, entah dimana om Juprit berada. Sejak aku mengikuti orangtuaku pindah kedaerah asalnya di Sulawesi samasekali tidak pernah berhubungan dengan om Jiprit. Dari om Jiprit itulah aku yang pada saat itu masih berusia 13 tahun mengenal hubungan sek.
Aku mengenal om Juprit sejak berusia 5 tahun. Kebetulan waktu itu rumah kontrakan om Jiprit bersebelaha dengan rumah kontrakan orangtuaku. Om Jiprit berprofesi sebagai mekanik sepeda motor. Dari profesi itulah, maka bapakku sering minta tolong untuk menservis sepeda motor. Terkadang om Jiprit datang kerumahku untuk sekedar memperbaiki sepeda motor, dia sama sekali tidak mau menerima ongkos sesenpun, hanya ongkos membeli onderdil saja. Katanya sih untuk nambah saudara diperantauan. Karena servis motornya sangat memuaskan, sehingga hubungan om Jiprit dengan orangtuaku sangat akrab. Saking akrabnya, om Jiprit menjadi leluasa bermain dirumahku.
Suatu ketika ibuku sedang sakit, sampai harus opname selama satu minggu dirumah sakit, bapakku sibuk bekerja, pulang kerja langsung kerumah sakit. Karena kondisi rumah sakit yang penuh sesak, aku tidak diijinkan oleh bapak ikut menunggu ibu. Bapakku minta om Jiprit tolong menjaga aku dirumah dan mengantar aku sekolah di SMP. Dengan senang hati om Jiprit memenuhi permintaan bapakku. Om Jiprit sangat perhatian, dia tidak segan-segan meninggalkan pekerjaan hanya untuk menjemput aku pulang sekolah dan diajak mampir menjenguk ibu dirumah sakit. Dirumah om Jiprit selalu menemani aku, bahkan selalu menyediakan makanan kesukaanku. Malam itu hujan turun sangat deras sekali diselingi tiupan-tiupan angin, cahaya petir berkilat-kilat masuk celah-celah kaca jendela, suaranya menggelegar. Duaaaaaaaar............gledung............., pet.......listrik padam, rumahku menjadi gelap gulita.
“Om......om.........aku takut.........takut......om. Om Jiprit dimana.......om......kesini.......aku takut banget.” Aku menjerit keras ketakutan, sekujur tubuh gemetar, dari celana pendekku seperti ada air mengalir. Rupanya aku ketakutan sampai terkencing-kencing. Aku yang saat itu sedang tiduran dikamar, mencari om Jiprit yang sedang istirahat diruang tengah.
“Nit..........nit........om disini.” Aku dengar langkah kaki om Juprit menuju kamar, karena gelap gulita akhirnya aku bertubrukan dengan om Jiprit. Oommm...... tanganku mendekap dada, susuku yang baru numbuh terasa pegal dan sakit ketambrak tubuh om Jiprit. Beruntung dua tangannya segera merangkul tubuhku supaya tidak jatuh, aku dipeluk erat-erat. Tubuhku yang setinggi bahu om Jiprit seakan tenggelam dalam pelukkannya.
“Nit......., kok aku mencium bau pesing.” Aku kaget, ternyata celana pendekku basah. Untung keadaan rumah sedang gelap, jadinya om Jiprit tidak melihat wajahku yang merah padam menahan rasa malu. Aku segera melepaskan diri dari dekapan om Jiprit.
“Nit....., tunggu disini sebentar ya, aku mau ngambil senter.” Om Jiprit mau melangkah, aku yang masih ketakutan segera berpegangan erat pada lengannya.
“Om......., ikut ya aku takut banget.” Sementara diluas hujan bercampur tiupan angin tambah deras, suara petir menggelegar duaar........deeeeeeeeeer......memekakkan telinga. Aku terus mengikuti langkah om Jiprit mencari-cari senter.
“Nit....., tuh celanamu basah, sana ganti dulu. Nih senternya dibawah kekamar mandi.” Aku malu sekali ketika om Jiprit melihat celana pendekku basah bau pesing lagi.
“Aku takut banget, temani ya om.” Aku menarik-narik tangannya, memaksanya kekamar mandi.
“Nit......ayo masuk......aku diluar saja.” Om Jiprit masih terus berdiri didepan pintu kamar mandi, karena aku paksa akhir menemani aku didalam kamar mandi. Ketika aku sedang melepas baju, tiba-tiba duaaaaaar......njegaaaaaaaar.......kembali suara petir menggelegar menyambar-nyambar. Saking takutnya aku kembali memeluk tubuh om Jiprit, wajahku aku sembunyikan pada dadanya yang bidang. Senter yang dipegang om Jiprit jatuh kelantai, tubuhnya yang aku peluk sekuat tenaga tidak bisa bergerak. Aku hanya mendengar degup jantungnya yang tambah kenceng. Terpaksa pahaku yang tidak tertutup selembar kainpun tersentuh oleh telapak tangan om Jiprit. Kembali kilatan pentir menyambar dan menggelegar, aku masih terus memeluk tubuhnya kuat-kuat, tidak mau lepas, aku takut sekali. Mengetahui aku masih ketakutan, tangan om Jiprit pindah keatas memeluk tubuhku yang sudah telanjang bulat, buah dadaku yang baru seukuran bola tenes seperti tertekat perutnya. Rasa takukku mulai berkurang manakala tangan om Jiprit mulai membelai bagian punggung.
“Nit........., nggak usah takut.....sana tubuhmu disiram air dulu. Aku nunggu diluar saja ya Nit.” Tangan om Jiprit berusaha melepas dekapan tanganku. Kemudian membungkuk mengambil senter yang tadi jatuh dilantai, otomatis om Jiprit dapat melihat seluruh tubuhku yang masih telanjang bulat. Matanya seperti tidak berkedip ketika cahaya senter itu mengerah pada bagian dadaku yang sudah membusung. Saking takutnya, aku tidak menghiraukan rasa malu sedikitpun.
“Ya.....om, tapi om nunggu didalam saja. Takut pentirnya nyambar lagi.” Aku berbalik membelakangi om Jiprit, tubuhku aku siram air, tapi bau pesing masih melekat pada bagian bawah tubuhku. Meskipun dingin, terpaksa aku mandi lagi. Air mengguyur seluruh tubuhku, seluruh permukaan tubuhku aku bersihkan pakai sabun mandi. Sementara om Jiprit yang masih menemani aku, mengarahkan cahaya senter keseluruh tubuhku yang tertutup buih-buih sabun. Aku cuek saja, aku santai saja, dua tanganku menggosok-gosokan sabun keseluruh tubuh. Aku terlonjak kaget ketika suara guntur kembali menggelegar keras seklai......duaaar...........duaaaaaaaaar........glenduuuuuung. Rasanya seluruh isi kamar mandi bergetar hebat, sampai pintu kamar mandi braaak...tertutup oleh tiupan angin. Aku segera meloncat gemetar dan takut, tubuh om Jiprit aku tubruk, aku peluk erat sampai pakaiannya basah oleh cipratan air dalam gayung yang masih aku pegang. Untuk kedua kalinya, terpaksa tangan om Jiprit kembali memeluk tubuhku yang gemetar ketakutan.
“Om........Nita taku banget.” Wajahku menengadah, bibirku gemetaran. Dan tanpa sengaja wajah om Jiprit yang sedang menunduk saling bertemu, bibirnya menyentuh keningku. Aku terus memeluk erat tubuh om Jiprit, sementara dua telapak tangannya yang terasa hanget mengusap-usap punggungku. Rupanya om Jiprit berusaha menenangkan aku.
“Dah Nit.......lepasin tanganmu, bajuku jadi basah Nit.....” Bujukkan om Jiprit tidak bisa mengurangi rasa takut pada suara petir yang terus menerus menggelegar. Rasanya aku aman dalam dekapannya yang hangat, terpaksa dua tanganku menjepit sepasang tangan kekar om Jiprit. Rupanya om Jiprit gelgapan karena aku tidak mau lepas dari pelukkannya.
“Om.......aku takut.........takut banget sama petir.......om peluk Nita ya...” Wajahku masih menengadah, bibir tambah gemetaran sampai gigiku gemeletuk menahan rasa takut. Tapi tanpa diduga, bibirku bertemu dengan bibir om Jiprit yang rupanya mau bicara. Suara om Jiprit gelagepan, manakala bibirnya aku gigit kuat-kuat. Perlahan rasa takutku mulai hilang, tapi kali ini seperti ada perasaan aneh yang menyelimuti diriku. Rasanya bibirku tidak mau lepas dari bibirnya yang tertahan oleh gigitan gigiku. Bibirnya terasa hangat, aku tidak tahu perasaan apa yang melanda diriku. Yang kutahu sekarang aku sudah mulai tenang, rasa takutku sudah hilang. Dan rasa aneh terus menjalar manakal bibir om Jiprit berberak-gerak mau lepas dari gigitanku. Gigitanku mulai longgar, tapi bibirku seperti tidak mau lepas dari bibir om Jiprit yang terasa hangat. Sementara itu dua telapak tanganya yang hangat membelai suluruh punggungku naik-turun. Aaaah........aku melengus pendek ketika tangannya turun sampai bagian pantatku. Belaian tangannya terasa nyaman sekali, aku sendiri tidak tahu perasaanku saat itu ketika tangan om Jiprit masih meraba-raba bagian belakang tubuhku. Yang aku tahu hanya semakin memperketat pelukanku. Yang aku tahu hanya semakin erat bibirku menyentuh bibir om Jiprit yang terasa mulai kenyal seperti makan permen karet. Sampai suara petir menghilang om Jiprit memaksa lepas bibirnya dari gigitanku.
“Nit.......kamu sudah tenag.........jangan takut........Nit.” Dua tangannya memegang pipiku, matanya menatapku, seperti menyakinkan aku supaya tidak takut lagi. “Nit.........sekarang kamu teruskan mandi ya........tuh.......tidak ada suara petir lagi.” Kemudian tubuhku didorong dengan halus, tapi kali ini karena suasan masih gelap dua telapak tangannya tanpa disengaja seperti nyenggol bagian dadaku yang sudah membusung. Kembali perasaan aneh muncul lagi, buah dadaku tidak sakit, tapi seperti ada rasa aneh pada dua susuku. Telapak tangan om Jiprit rasanya hangat, seperti ada rasa geli. Aku yang masih tidak tahu perasaan itu hanya diam dan mendesah panjang......aaaah........oooh. Tapi perasaan itu hanya sebentar. Aku seperti kecewa ketika om Jiprit melepaskan telapak tangannya dari permukaan kulit susuku yang membulat.
“Nit.......lepasin dong tanganmu, bajuku basah......dingin banget Nit.” Mesti ada rasa kecewa, terpaksa aku melepaskan tanganku dari tubuhnya. Aku masih berdiri kaku, yang aku lihat om Jiprit sedang ngambil senter dilantai, lalu digantung pada paku yang menempel ditembok.
“Lho.....kok kamu beluh mandi, tuh ditubuhmu masih banyak sabun yang nempel.” Jari tangan om Jiprit menunjuk tubuhku yang hanya tertutup oleh busa sabun. Kemudian om Jiprit melepas baju dan celana yang basah. Aku yang waktu itu masih lugu dan tidak tahu perasaan yang melanda, hanya diam mematung sambil melihat om Jiprit melepaskan baju ditengah keremangan lampu senter. Yang aku lihat kini hanya celana dalam coklat yang masih nempel pada bagian bawah perut om Jiprit. Dari balik celana dalam om Jiprit seperti ada benda panjang yang nonjol dan bergerak-gerak. Aku yang masih lugu sama sekali tidak tahu. Ketika segayung air menggujur tubuhku barulah aku sadar, tapi aku seperti tidak dapat berbuat apa-apa. Angan-anganku seperti melayar, rasanya bibirku masih hangat oleh sentuhan bibirnya. Dan tiba-tiba aku kaget ketika dinginnya air berulang kali mengguyur tubuh, rasa dingin sekali seperti bongkahan es. Sementara diluar hujan masih turun deras, kali ini tiupan angin sudah berhenti, tapi masih terdengar suara guntur yang menggemuruh. Kembali rasa takut yang tadi hilang muncul lagi, aku seperti tidak memperdulikan rasa malu, ketika om Jiprit menguyur-guyurkan air menghilangkan sisa-sisa busa sabun yang mesih menempel. Dan ketika om Jiprit menyiram bian tubuhnya yang bau pesing akibat sisa air kencing yang masih nepel, suara petir itu menggelegar sangat keras......duar.........gleger..........der.......glendung. Aku terlonjang kaget, segera mendekap erat tubuh om Jiprit yang masih telanjang dari arah belakang. Gayung yang masih penuh dengan air terlepas dari tangannya. Sepertinya om Jiprit kaget, apa karena petir atau pelukanku yang mendadak itu. Terpaksa tangan om Jiprit turun karena pelukan tanganku. Lagi-lagi kejadian tiu tidak disengaja ketika telapak tangannya seperti menyenggil bagian bawah perutku, dan yang satunya lagi menyentuh permukaan kulit pahaku. Rasa takutku pada suara petir semakin menjadi-jadi, dan aku semakin erat, tambah kuat tanganku memeluk tubuh om Jiprit dari belakang. Kemudian yang aku rasa om Jiprit membalikkan tubuhnya saling berhadapan. Petir itulah yang membuatku tambah ketakutan, aku tidak berani melihat kilatan-kilatan cahaya petir lewat celah-celah atap. Aku segera menyembunyikan wajah pada dadanya om Jiprit yang masih telanjang. Gigiku saling menggigit menahan rasa sakit sampai berbunyi gemeletuk. Bibirku juga gemetaran, sepertinya rasa takut itu tidak mau hilang. Malam itu rasanya aku tersiksa oleh rasa takut, sedangkan hujan dan petir seakan tidak mau berhenti. Meski demikian rasa aneh muncul lagi, dada bidang om Jiprit rasanya seperti bertambah hangat. Aku semakin betah dan semakin kuat menyembunyikan wajahku dan tanpa sadar gigiku mengigitnya keras-keras. Yang aku dengar suara mengaduh menahan rasa sakit.
“Aduh.....aduh.......Nit sakit banget......lepasin gigitanmu........dadaku sakit.” Aku hanya bisa mengurangi gigitanku, gigiku sama bibirku seperti tidak mau lepas dari dadanya. Seperti ada perasaan lain yang muncul dalam jiwaku. Yang aku rasakan dadanya om Jiprit tidak hanya hangat, seperti benda kenyal yang masuk dalam mulutku. Kemudian om Jiprit mengeluh panjang.
“Ooooh...........sest........ses.” Aku yang masih polos tidak tahu apa yang sedang dirasakannya. Yang aku tahu mulutku seperti tidak mau lepas dari benda kenyal yang nempel didadanya. Suasana malam yang gelap diringi deru air hujan dan gemuruh petir, membuat aku dan om Jiprit tambah larut pada perasaan aneh itu. Yang aku tahu rasa aneh itu seperti berubah menjadi rasa nyaman. Lambat namun pasti, tidak disengaja aku mulai merasakan nikmat mengigit, mengecup ujung dada om Jiprit.
“Uuh........set.......auh......om.” Hanya jeritan kecil yang aku dengar keluar dari mulut om Jiprit. Sementara dua tangannya yang hanya memeluk tubuhku kini mulai mengusap-usap punggungku. Bagian perutnya seperti menekan kuat dua susuku yang tambah mengkal. Ujung bulu perutnya seperti mengusap lembut ujung pentil susuku, sentuhan itu semakin kuat. Sepertinya ada perasaan lain pada diriku kutika ujung pentilku tergesek-gesek lembut. Tanpa aku sadari mulutku yang menempel erat pada ujung dadanya om Jiprit mulai mengeluh.
“Eeh.......uuh......uuuuuuuh.” Hanya suara itu yang keluar dari mulutku yang mesih mengigit, melumat ujung pentil om Jiprit. Dan belaian tangan om Jiprit semakin menjadi-jadi, rasanya bongkahan pantatku seperti diraba, kadang diremah halus. Rasanya ada seperti ada benda panjang yang bergerak-gerak menempel diperutku. Benda itu seperti keras tapi lunak, sepertinya benda aneh itu rasanya semakin hangat. Aku dan om Jiprit yang semakin terbuai perasaan itu hanya saling melenguh bergantian, kadang suara lenguhan itu terdengar besama-sama. Kini rasa aneh itu berubah menjadi nikat, ketika tangan Om Jiprit mulai merasa bongkahan dadaku, ada rasa geli diujung pentilku namun sebentar berubah nikmat. Dan jiwaku seperti melayang, wajahku menengadah dan bibirku bertemu dengan bibirnya. Ya....aku sekarang sudah mulai menikmati lagi lumatan bibir. Tanganku tidak lagi memeluk tubuhnya, tapi sekarang sudah melingkar pada leher om Jiprit. Aku semakin kuat menggelantung pada lehernya, aku semakin kuat manarik tubuhnya. Tubuh om Jiprit yang tinggi akhirnya melengkung, membungkuk mengimbangi tubuhku yang hanya setinggi bahunya. Kembali suara lenguhan-lenguhan terdengar bersamaan. Perasaan nikmat itu kian menjadi-jadi, tatkala sepasang susuku digenggam dan kadang diremas lembut. Pada sisi lain aku merasa benda aneh yang ada dibawah perutnya mulai keluar dari celana dalamnya yang melorot sendiri karena basah. Benda itu seperti tegak mengacung, rasanya menekan halus pada kulit perutku. Aku menjadi penasaran pada benda panjang itu, dan tanganku lepas dari leher om Jiprit. Tapi sekarang turun mencari-cari benda itu. Tanganku seperti bergerak sendiri, seperti punya mata. Dan aku kaget benda itu rasanya bulat dan besar, telapak tanganku seperti tidak mampu menggem semuanya.
“Aaaah.........uuuuh.........Nit........Nita.” Om Jiprit mengeluh sampai bibirnya lepas dari lumatanku. Namun aku masih penasaran, meski benda itu sudah aku genggam kuat-kuat. Benda itu rasanya keras tapi kenyal, telapak tanganku sepertinya senang memegangnya.
“Oooh........, Om........,” Hanya suara itu yang keluar dari mulutku, ketika jari om Jiprit mulai mengusap pentilku bergantian, kadang dipilit lembut. Pentilku yang dulu masik melesak, sekarang seperti sudah mencuat. Rasanya geli bercampur nikmat, ketika jari-jari om Jiprit memilin dua pentil bersama-sama. Kami sudah tidak menghiraukan lagi suasana gelap dan hujan. Yang aku rasakan kini hanya nikmat yang melanda sekujur tubuhku. Kini tanganku mulai terbiasa menggengam benda miliknya om Jiprit. Jari tanganku menelusuri sepanjang benda itu, dan ujungnya bentuknya aneh. Ujung benda itu seperti beda dengan ujung benda milik anak laki-laki yang masih kecil. Aku sering melihat milik anak kecil, tapi bentuk ujung masih lancip. Kok ujung benda milik om Jiprit seperti....aku hanya bertanya-tanya dalam hati. Sulit aku menebaknya seperti apa, tapi yang jelas beda banget sama punya anak laki-laki yang sering aku lihat. Aku hanya menggesek-gesek, kadang jariku seperti nyenggol lubang yang ada pada ujungnya.
“Uuuuh.........set.......sesst.....Nit.......oooh.” Hanya itu yang terdengar dari mulut om Jiprit disamping kanan telingaku. Aku semakin heran rasa nikmat itu semakin menjalar sekujur tubuhku. Apalagi ketika kuping telingaku dilimat, kadang dijilat-jilat.
“Aaaaah...........om.........aaaaaaaah.” Aku hanya mampu mendesah, mengeluh nikmat. Tangan kirinya mulai merambat turun meraba perut, turun lagi meraba pahaku bergantian. Sementara tangan kanan om Jiprit merengkuh punggungku dan bibirnya turun lagi pada leherku yang dikecup-kecup. Dan rasa nikmat itu semakin lama semakin panjang. Bagian bawah perutku seperti nikmat banget diraba-raba.
“Aaaaaah........” Aku melenguh lagi, ketika jari-jari om Jiprit membelai bulu-bulu yang mulai tumbuh pada bagian kelaminku. “Uuuuuuuuh.............aaahkkkkk.........seet.” Bibirku mendesis panjang, rasanya enak banget sentuhan tangan dan jari itu pada bagian memekku, meski kadang bercampur rasa geli. Aku yang sudah dibuai rasa nikmat, sama sekali tidak protes, aku semakin senang ketika memekku diusap-usap. Kini dua telapak tanganku saling menggam benda itu, ya aku pernah dengar kalau ibu-ibu bilang pada anak lelakinya yang masih kecil kalau mau pipis. Ya.......aku mulai tahu namanya. Benda bulat panjang miliknya om Jiprit namanya titit. Aku tambah gemes, aku remas kuat-kuat tititnya om Jiprit.
“Ooooh.......aukh........Nit.......Nit.........terusin........trus..........trus.......trusiiiiiiiii.........siiiiiiin, enak banget Nit.” Kali ini om Juprit semakin meracau tak karuan. Dan tiba-tiba seperti ada hentakan nikmat ketika jari oh Jiprit memasuki belahan memekku.
“Ooom.........ooooom.........kok kayak gini...............ooooom Nita enak banget...........trus...........trus...........truuuuuuuuuuus.” Aku mengeluh panjang, dada oh Jiprit aku gigit kuat-kuat. Dan dari dalam perut seperti ada yang meledak-ledak, entah perasaan apa itu, yang kutahui hanya nikmat berkepanjangan dari memekku. Dan jari itu seperti menyentil ujung memek ditengah-tengah. Biji kacangku ditengah belahan memek rasanya geli campur nikmat. “Ooooooooh...........sssset......enak..........nik...........nik........mat.......om.” Om Jiprit tambah semangat menyentil kadang memilin biji memekku. Akhirnya seperti ada yang mau keluar dari lobang memekku. “Ssseeet.........akh..................auh.........enak............trus..........trussssss.........aku...........mau.........pipis......om” Aku menjerit nikmat ketika dari lobang memekku seperti cret.......cret........cret......cret.........creeeeeeeeeeet..........sluuuuuuuuuur. Yang aku rasakan air pipis kali ini rasanya lain, tidak seperti biasa. Seperti basah tapi memekku lengket, kali ini aku tidak tahu entah air pipih apa. Yang jelas setelah pipis badanku seperti lemas tidak bertenaga. Memek sama bijinya masih terasa nikmat oleh sentuhan tangan om Jiprit. Dan saking nikmatnya aku jatuh terduduk dilantai sambil berpenggangan erat pada lehernya, om Jiprit ikutan ambruk menimpa tubuhku.
Rupanya malam yang gelap ini memberi pengalaman pertama bagiku. Malam ini aku merasakan nikmatnya sentuhan lelaki dewasa. Tubuhku yang tidak bertenaga lagi seperti melayang dan terus melayang. Malam gelap yang ditimpa badai, seakan menambah geloraku. Kini badai itu melanda seluruh tubuhku dan tubuh om Jiprit yang tambah panas membara. Rasanya aku tidak ingin badai itu segera berakhir, kini rasa takut hilang berganti senang. Aku senang ditengah badai itu, gelombangnya seperti mengayun-ayun seluruh gelora yang ada dalam setiap sendi-sendi tubuhku. Setiap hempasannya aku nikmati dengan segenap tubuhku.
Aku tidak ingin rasa nikmat itu hilang, aku mau lagi. Rasa nikmat itu tambah panjang ketika tangan kekar om Jiprit menggendong tubuhku. Dua tangannya yang kuat mengangkat tubuhku pada bagian punggung dan lutut. Tanganku melingkar pada lehernya, susuku yang sebelah kanan terhimpit dada bidangnya. Ditengah temaramnya sinar lampu senter, om Jiprit mulai melangkah sambil menggendongku. Setiap kali melangkap, dadanya menggesek ujung pentilku yang kini menjadi tegang dan keras. Kini ujung pentilku seperti keluar dari bongkahan susu, sepertinya sudah tegak. Titik om Jiprit mengganjal bagian bawah pantatku, kadang menggesek lembut pada setiap langkahnya. Om Jiprit sama sekali tidak merasakan beratnya tubuhku yang kini sudah melayang. Dan yang paling menggelitik perasaanku adalah manakala dari lobang memek seperti ada denyutan kuat. Terlebih biji memekku sekarang seperti mencuat mau keluar dari sarangnya. Titik itu rasanya enak banget menggesek-gesek belahan pantatku. Dan tubuh melayang, lalu jatuh terhempas, yang kutahu kini sudah ada diatas kasur dalam kamar tidurku. Tubuh kami saling menindih, kadang bergulingan dan ciuman om Jiprit merambat turun disekujur tubuhku. Setiap jengkat tidak ada yang terlewatkan, ujung jempol kakiku rasanya geli campur nilmat. Ketika aku membuka mata yang kulihat dikeremangan malam om Juprit sedang mengulum ujung jempol. Lalu betisku dicium dikecup, ujung kumisnya yang tipis itu menyapu setiap pori-pori. Yang aku mampu hanya mendesah dan mendesah berulang kali. Kulit pahaku yang putih mulus tidak lepas dari hisapan bibirnya. Lalu aku menjerit dan menjerit manakala bibir itu singgap pada gundukan memekku.
“Aaaaaaaaah.............auh............uhuk..........uhuk.” Aku melengus nikmat dan nikmat. Bibirku kadang meringis menahan rasa nikmat, kadang aku gigit kuat-kuat. Setiap jengkal memekku disapu bersih, lidah itu seperti menjulur-julur menelusuri belahan memekku. Pahaku aku pentangkan lebar-lebar, dua tangaanya meraih bongkahan susuku dan diremas lembut. Aku hanya mampu meringis dan menggeleng, pantatku aku angkat tinggi-tinggi seakan memberikan seluruh bongkahan memekku.
“Oooooooooooom.....om.........om...........om...........sssssettt..........settttttttt, memekku diapain kok nik.....nikm.................aaaaaaaaat ba.....bang......ngeeeeet.” Aku terus meracau tak karuan. Dan akupun menjerit lagi, tatkala lidahnya yang tajam mengait ujung biji memek. “Aduh........aduh..........oahk........ehek...........bijiku................bij.........ji memekku diapain.” Lidah itu seperti tambah ganap menjilat lobangku, kadang bibirnya menelan habis semua biji memek. Kumis itu rasanya geli sekali setiap menyapu belahan memekku. Pentilku tambah keras, kadang diusap, kadang dipilin, dipencet. Sementara bongkahan susuku tambah mengkal setiap kali remasan itu datang. Demi mendengar lenguhan nikmatku, om Jiprit semakin semangat menjilat, kadang menghisap tidak peduli jepitan pahaku pada kepalanya. Dua tanganku menekan keras-keras kepala om Jiprit, aku seperti tidak rela bibir dan lidahnya lepas dari bongkahan memekku. Pahaku semakin kuat menjepit kepalanya yang jatuh terjerembab dalam kubangan memekku. Aku biarkan bibir dan lidah om Jiprit menikmati setiap jengkal memekku. Aku biarkan biji memek digigit lembut. Jilatannya membuat aku melayang, setiap ujung sarafku seperti mau melepaskan seluruh isinya.
“Uakhhhhh.........uah..............engkk..........egh........” Biji memekku meledah ditelan habis, lalu seperti ada yang mau keluar dari ujung memekku yang paling dalam. Nafasku tidar beraturan, seperti ada yang melonjak-lonjak dalam perutku. Dan lalu aku seperti ada yang mengalir deras dari lobang memek....cret........cret...........slur............slur...............sleeeeeeer.........crut. Kembali air itu lepas dari dalam rongga memekku.....aku tekan kuat-kuat.........sleeeeeer...................sllluuuuuuuuuuurrrrrrrrrrr. Perasaanku sepertinya sudah lega.
“Aku puas.........nikmat.........oommm oooh enaaaaak banget. Awaaaaaas aku ma..........mauuuuuu pipis.” Mulutnya melekat kuat pada lobang memekku seperti tidak mau lepas. Aku sudah tidak tahan dan air memekku keluar membasahi mulut om Jiprit. Namun lagi-lagi lidah itu seperti menyapu seloroh lobang memekku yang sudah sangat basah, lidah itu terus menjilat-jilat setipa air memekku tanpa sisa. Perasaanku ini sudah lega, jepitan pahaku sudah longgar. Aku angkat kuat-kuat kepala om Jiprit.....lalu plop.....plop.......plok.......mulutnya lepas dari bibir memekku.
“Ooom......maafin Nita ya.......tadi ngencingi mulut om, maafin aku ya ooom.” Sekarang om Jiprit merangkak diatas tubuhku. Tubuhku ditindih didekap erat.
“Nita..........kamu jangan bilang seperti itu, oom seneng sekali sama air memekmu, rasanya gurih banget.”
“Itu kencing kan jijik om. Ih om Jiprit air kencing kon dijilat, apa nggak jijik om.” Aku mencubit pinggangnya gemak.
“Aduh sakit.......sakit.......lepasin Nit, kok kamu nakal sih.” Om Jiprit meringis kesakitan wajahnya yang ganteng keliatan tambah lucu.
“Abis om Jiprit yang nakal duluan. Masak memek nita dijilat-jilat, apa nggak bau.” Kembali tanganku membelai kepalanya dengan mesra.
“Bau memekmu enak banget, seger lagi.” Dari arah bawah titik om Jiprit menggesek-gesek belahan memekku yang mulai lebar. Ujung titik itu sepertinya tajam sekali menyentuh, menekan biji memekku.
“Om Jiprit mulai ngawur lagi” Om Jiprit diam saja, kini bongkahan susuku jadi sasaran empuk mulutnya. Susuku ditelan habis, ujung lidah itu kembali menjilat pentilku. Satu tangannya kadang yang kiri, kadang yang kanan meremas susuki bergantian. Gesekan bulu perutnya, menambah nikat. Aku hanya diam pasram menerima setiap kenikmatan dari om Jiprit. Kenikmatan itu membuat aku lupa diri, sampai tidak menyadari titik om Jiprit membuka belahan memek perawanku. Berkali-kali ujung titit itu gagal, mungkin saking licinnya memekku sering terpeleset. Yang aku rasakan titit itu tambah besar saja memenuhi belahan memekku yang terbelah dua. Lobang memekku berdenyut-denyut rasanya pengin menghisap kuat-kuat titit om Jiprit. Tangan kiri menjang titit itu, aku tuntun menemukan lobang memekku yang masih sempit.
“Oommm.........masuk sini.........” Titit itu menurut, ujungnya mulai masuk, tapi lobang seperti tertusuk, seperti tersayat.
“Aduh........adu.........pelan-pelan...........perih........sakit..........sakit banget.” Aku merintih-rintih, bibirku meringis menahan sakitnya tusukan titik. Om Jiprit menurunkan pantatnya, ujung titik itu menekan masuk bles......bles...
“Sakit.........perih banget...........uukh......ukhh.......memekku sakit.” Aku menangis merasakan sakitnya diperawani titit gede. Om Jiprit menunduk bibirku dilumat-lumat bergantian dengan pentil susuku. Rasa nikmat kembali hadir dalam tubuhku, aku mulai melupakan rasa sakit pada lobang memekku yang sudah robek. Dan titit itu meski perlahan masuk lagi bles........berhenti, lalu........bles.......diam lagi seakan memberi kesempatan pada memekku menerima kehadiran tititnya yang keras dan besar lagi. Rasa sakit berangsur hilang, ada sedikit rasa nikmat yang datang dari denyutan titit itu. Dan setelah lobang memekku tambah lebar, maka titit itu.......blus.......blus masuk lagi meski baru separoh.
“Ahk.......ahak..........ahak.........uuuuuh, perih.............prih.........nikmat.” Aku masih marasa ada rasa perih campur nikmat. Kembali titit itu berdenyut-deyut supaya lobang memekku tambah lebar. Om Jiprit sabar sekali mempermainkan lobang memekku yang masih perawan.
“Nit.........memekmu...........akh.......enak.” Om Jiprit menindih tubuhku, sementara titit diam lagi dalam lobang memekku. Kembali mulutnya melumat ujung pentilku yang makin gatel. Lumatan, gigitannya membuat aku tambah mabuk kepayang, aku sodorkan dua bongkahan susuku, aku biarkan om Jiprit menyusu. Aku mulai seneng menyusui laki-laki. Om Jiprit seperti anak kecil, dia rakus sekali menyusu padaku. Rasa perih dalam memekku kini sudah hilang, lobangku semakin lebar. Meski baru separo kontol om Jiprit seakan memenuhi seluruh lobangku. Denyutan kontolnya seperti mengaduk-aduk lobang memekku. Aah, kontol itu mulai menusuk lagi semakin dalam......bles.....bles......bles.......bleseeeek. Bret.......breeeeet, aku menjerit sakit.
“Auuuuuuuuuh.......ehek.......uh......uh.....ehek, sakit banget...........memekku sakit banget. Om jahat banget......” Aku menangis merintih-rintih. Memekku seperti mau sobek, memeku seperti tertusuk sedalam-dalamnya. Memekku seperti mau pecah.
“Nit............sakit........ya, sebentar lagi hilang. Nita.........memekmu enak banget.........” Om Jiprit yang masih menindih tubuhku menghiburku, tangannya mengusap air mataku, lalu dikecup mesra keningku. Kecupan pindah kemataku, pindah lagi kepipiku bergantian. “Nit......makasih...........aku sayang banget sama kamu.” Kontolnya yang sudah masuk semua diam kembali, aku mencoba kehadiran kontol itu. Dan aku bisa, aku bisa menikmati hadirnya kontol itu dalam memekku. Tanganku memeluk erat-erat punggungnya.
“Om........om sayang nggak sama Nita.”
“Ya jelas dong........om sayang banget sama kamu nit, apalagi perawanmu sudah aku ambil.”
“Om.........sekarang nita sudah tidak perawan lagi. Om.......mau tanggung jawab sama aku ya.” Aku terus merajuk-rajuk.
“Nit kamu tidak menyesal aku perawani.” Aku hanya menggeleng. “Kamu ikhlas, peranwanmu aku ambil” aku hanya mengangguk setuju. Om Jiprit memelukku erat banget sambil berbisik “Kamu mau aku tanggungjawab kayak apa Nit.” Matanya metatap wajahku, aku membalas tatapannya yang seperti meyakinkan aku.
“Nita penging om bertanggung jawab sebagai suami.” Mendengar jawabanku om Jiprit hanya mengangguk setuju.
“Ya..........Nita, aku tanggung jawab.” Sebagai balasannya aku semakin memperketat pelukan. Sekarang batinku sudah tenang. Rasa sakit dalam memekku sudah hilang, aku tambah sayang.
“Mas.......ambillah tubuhku.........nikmati memekku, pelan-pelan ya..........”
Mas Jiprit mulai lagi menusuk-nusuk memekku. Meski pelan-pelan rasanya nikmat sekali. Tusukan kontolnya tambah mantap sampai aku merem melek merasakan nikmat. Memekmu terus berdenyut setiap kali menerima tusuk kontol itu, aku hisap kuat-kuat, bibirmu memekku seakan-akan menggigit setiap jengkal botong kontolnya.
“Nit memekmu..........nit.............memekmu buat aku. Niiiiiiitaaaaaa enak banget.....”
Kini memekku sudah terbiasa menerima tusukan kontol, tambah lebar saja, air pejuhku makin deras mengalir memperlancar tusukan kontol itu keluar masuk semakin lancar.
“Uh........ah.........uh........aaaah............terus mas.............trrrus...........yang kenceng mas.” Kontol itu terus menusuk-nusuk memekku. Batangnya menggesek-gesek ujung itil yang ikut-ikutan keluar dari sarangnya. Tanganku berpegangan erat-erat meremas sprei kasur, menahan nikmat derasnya tusukan demi tusukan kontol mas Jiprit. Aku pejamkan mataku kuat-kuat menahan nikmat kontol mas Jiprit dimemekku yang sudah banjir. Sementara dari atas tubuhku, nampak mas Jiprit semakin semangat memompa kontolnya keluar-masuk dalam memekku. Bibirnya menyeringai menahan nikmat setiap kali memekku berdenyut-denyut.
“Nita.......Nita.........oooooh......nit..........kamu enak banget. Mem...........me.........mekmu ooooh.........uuuuh enak banget. It........it......i......i....iiitiiiilmuuuuuuuu aahk Nit.” Mas Jiprit terus mendesak nikmat. Aku balas tusukkan kontolnya, kadang dua kakiku yang melingkar dipinggang aku tahan. Kontol mas Jiprit amblas semua dalam memekku, aku hisap kuat-kuat dengan denyutan bibir memekku yang sudah sangat merekah. Kontol besar terasa mengganjal sekali, lobang seperti penuh terisi oleh batang kontolnya yang besar dan panjang. Dari dalam lobang memek, ujung kontol itu aku kait-kati sama unjung memekku yang paling dalam. Sementara keringatnya keluar menetes-netes, aku dan mas Jiprit terengah-engah mengejar kanikmatan birahi.
“Mas.......oooh.........mas........enak banget.........kon........ko......ntolmu panjang banget.”
“Nit........lobang memekmu.................uuuuuhkkuakh.........sempit banget..........njepit banget.”
“Mas............tusuk..........gen........jot........aku.......akk.......uuuuu mau keluar, trus............yang banter........genjot.............mas...............memekkku................kellll.................kluar...........akh.....ahak......uuuuh......” Dari tubang memekku seperti ada yang mengalir deras.......terasa seperti cret.......cret....cret..cret..........creeeeeeeeeeeeetttttttttttt. “Aaaaaaaaaaakh aku keluar mas.” Memekku berdenyut-denyut kuat sekali.
“Nit.........ta..........aku tidak tahan......oukh.........aaahkkkk.”
Tubuh mas Jiprit ambruk menimpaku. Dan dari dalam lubang kontol menyembur air banyak sekali, sler.......slerrrrr........sleerrrr.....crot....crot.......crooott.....crooooooooottttttttt. Air pejuh itu aku hisap kuat-kuat, aku telan semuanya masuk dalam rahimku sedalam-dalamnya. Aku simpan air pejuh itu agar bercampur dengan benihku sendiri. Rasa nikmat sekali pertama kali memekku waktu pertama kali minum pejuh yang kental dan hangat sekali. Akhirnya tuntas sudah kenikmatan persetubuhannku yang pertama kali. Aku coba lihat memekku sendiri, ternyata sudah bengkak, ada tetesan darah perawanku. Rasanya memekmu seperti njador banget.

2 komentar: